Konsep Tata Ruang Sanga Mandala

Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada, 1990:58)

Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)

Dalam skala perumahan (desa) konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan yang bersifat suci
  • Pura Desa dan puseh pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), 
  • letak Pura Dalem dan kuburan pada daerah nisthaning nista (klod-kauh), 
  • dan permukiman pada daerah madya, ini terutama terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan (Catus Patha). 
(Paturusi; 1988:91). 

Sedangkan Anindya (1991:34) dalam lingkup desa, konsep Tri Mandala, menempatan:
  • kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, 
  • kegiatan yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi dan perumahan) madya, dan 
  • kegiatan yang dipandang kotor mengandung limbah daerah nista. Ini tercermin pada perumahan yang memiliki pola linier.
Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan sebagai berikut yaitu:
  1. Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), 
  2. Hirarkhi tata nilai (Tri Angga), 
  3. Orientasi kosmologis (Sanga Mandala),
  4. Konsep ruang terbuka (Natah), 
  5. Proporsi dan skala, 
  6. Kronologis dan prosesi pembangunan, 
  7. Kejujuran struktur (clarity of structure), 
  8. Kejujuran pemakaian material (truth of material). 
(Juswadi Salija, 1975; dalam Eko Budihardjo, 1986). 

Munculnya variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali karena adanya konsep Tri Pramana, sebagai landasan taktis operasional yang dikenal dengan Desa-Kala-Patra (tempat, waktu dan keadaan) dan Desa-Mawa-Cara yang menjelaskan adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan filosofinya, dan ini ditunjukkan oleh keragaman pola desa-desa di Bali. (Meganada: 1990:51).

Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat serta pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh penghuni/kepala keluarga, seperti; tangan, kaki dan lainnya. (Meganada: 1990:61).

Dasar pengukuran letak bangunan dalam pekarangan memakai telapak kaki dengan hitungan Asta Wara (Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma) ditambah pengurip. (Adhika, 1994:25)

Di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut aturan tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:
  1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau Utara pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah, ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
  2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
  3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.
  4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
  5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
  6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.
  7. Dan lain sebagainya.
Demikian disebutkan tata ruang Sanga Mandala ini dalam Perumahan dan Pemukiman Tradisional, sehingga lebih nyaman.
***